[renungan] Take It or Leave It

Saat penulis tengah studi di luar kota, dia memilih untuk kos dan dengan berat hati menolak halus tawaran bertempat tinggal bersama pakdhenya. Selain ga enak bila penulis pulang-pergi malam hari, alasan lainnya adalah jarak tempuh dari rumah pakdhe ke kampusnya yg lebih jauh. Beruntung dia mendapatkan tempat kos yang sedikit lebih dekat. Kurang-lebihnya, hampir satu tahun dia menempati tempat itu, si Induk Semang pemilik kosnya memberi kabar bahwa tempat tersebut akan dialihfungsikan menjadi kos putri. Alhasil, penulis kudu mencari tempat bernaung lain yang mau menerimanya.

Dalam pencariannya selama hampir dua minggu, berkat bantuan teman satu kosnya, mereka menemukan rumah yang terlihat dikontrakkan atau dikoskan itu. Mereka bertemu dengan si Pengurus Rumah tersebut setelah mendapat info dari pemilik warung, persis sebelah rumah tersebut. Beliau bertanya, apakah mereka akan mengkontrak atau kos saja, dan mereka sepakat memilih untuk kos. Setelah melalui beberapa percakapan dan rayuan, akhirnya terjadilah kesepakatan.

Dengar-dengar kabar, Beliau menolak keras bila yang menyewa tempatnya adalah orang-orang timur, atau yang cenderung berkulit hitam. Mengapa? Beliau merasa kapok karena ulah mereka. Dulu tempat tersebut ada fasilitas telpon rumah, terpaksa diputus karena tagihan bulanannya terlantar; penduduk di sekitar rumah itu merasa terganggu karena orang-orang seperti itu sering mabuk, bicara keras pada malam hari, setel musik yang suaranya memekakkan telinga pada jam-jam orang kebanyakan butuh ketenangan; tempat yang semula bersih menjadi kumuh seperti gang-gang di pasar; dan keluhan lainnya yang hampir membuat pegal kaki dan telinga saat menyimak.

Kini, penulis dan beberapa teman dari kos lama telah menetap di tempat baru tersebut. Pertama, mereka nyaman dengan keadaan di situ. Tetapi, lama-kelamaan menjadi sebaliknya. Apa penyebabnya? Ada teman satu kos baru yang berasal dari Nusa Tenggara BlaBlaBla. Dia memang orang yang baik, tapi orang-orang sedaerahnya itu yang menyebabkan discomfortable, mereka mulai bicara keras siang-malam; menyumpahi sesuatu dengan khas kata-kata dari daerahnya; setel musik keras-keras dengan subwoofer yang dibesarkan; menggantungkan celana-dalam yang terpercik tinja sedikit di kamar-mandi; tidak menutup kembali pintu belakang—yang menjadi akses keluar-masuk penghuni kos dan motor—padahal mereka sudah tau bahwa jalan tersebut rawan kejahatan, karena lokasi kos tersebut di tepi jalan, serta dekat dengan warung-warung makan. Lalu di mana yang salah, mereka yang masih membawa habit yang kurang menyenangkan dari kampung-halamannya, ataukah si penulis beserta teman-teman satu koslainnya yang tak mau saling mengingatkan?

Setiap individu pasti mempunyai pola pikir dan kebiasaannya masing-masing. Kita sebenarnya bisa maklum bila mereka berbuat demikian karena mereka jarang tersentuh dunia modern. Toh, pada mereka-mereka yang sudah terbiasa hidup di dunia modern, pun belum tentu sifatnya bisa menyenangkan. Ternyata penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat kita berada memang penting.

“Masuk kandang kambing mengembik, masuk ke kandang anjing menggonggong.”

Peribahasa memang bisa menjadi hikmah dari pengalaman hidup. Dulu penulispun pernah refleks membalas suara musik keras dengan musik yang keras pula. Mata dibalas mata, darah dibalas darah. Adalah hal tabu bila tuba dibalas dengan air susu.

Menyoal tentang perenungan, yaitu proses menemucocokkan kejadian yang tengah terjadi di sekitarnya dengan pengalaman pribadi yang mirip sebelumnya,  kemudian dicari bagaimana caranya agar realitas yang tidak menyenangkan tersebut dapat berjalan ideal. Seperti saat penulis tengah mengeluhkan teman satu kosnya yang setel musik keras-keras itu mirip seperti yang pernah dilakukannya dulu, kemudian dia menyadari bahwa ada waktu-waktu tertentu, yang di mana jam-jam tersebut orang-orang butuh ketenangan untuk beristirahat. Jadi untuk selanjutnya, penulis tidak akan setel musik keras-keras lagi pada jam-jam tersebut.

Memang lebih sulit lagi saat kita memberikan rekomendasi atau saran untuk orang lain, seperti yang dialami penulis tentang teman kosnya yang menyebalkan itu. Sebenarnya keadaan tersebut adalah hal yang mudah dilakukan bila kita mempunyai kedekatan dengan seseorang dan saling menciptakan lingkaran kenyamanan. Siapa sih yang akan langsung mengiyakan, bila ada orang yang datang mengkritik; memberi saran; menyuruh-suruh; dan lain-lain, padahal sebelumnya orang tersebut belum pernah atau jarang berbicara bahkan akrab dengan kita? Jadi, penulis sebaiknya perlu menciptakan lingkaran kenyamanan, singkatnya, menciptakan eksistensi diri terhadap mereka sebelum memberikan suatu gagasan.

Memang sulit, mungkin, saat kita akan memasuki lingkungan orang-orang yang sedikit persamaannya dengan kita. Seperti penulis—yang berdomisili Jawa Tengah; muslim; gamer; introvert; prefer membaca daripada menonton TV—hendak mendekati orang itu—yang berdomisili Nusa Tenggara; non-muslim; hampir setiap sore hingga larut malam bermain PlayStation bersama teman serumpunnya; tertawa terbahak-bahak saat menonton TV—sungguh sangat sulit! Mungkin karena kebanyakan mereka lebih introvert daripada penulis, atau, cenderung rasis sih sebenarnya. Cara terakhir adalah...

“Lakukan saja apa-apa yang bisa kamu ubah, terlalu berharganya tenaga dan pikiranmu untuk menggerutu terhadap apa-apa yang tak bisa diubah.”

Tidak ada komentar: